06 Desember 2008

Mati demi istri dan anak

Cerita ikan paus dari Lamalera (2)

LAMALERA---telah lama identik dengan tradisi ikan paus. Kisah para nelayan tangguh lawan ikan paus yang ganas dan kuat. Betapa gagah perkasanya sang juru tikam ketika meloncat dengan semangat membara ke tengah laut menancapkan tempuling (sebilah besi diruncingkan ujungnya) ke tubuh ikan sebesar kapal ikan nelayan atau kapal penumpang rakyat sekitar 20-an meter panjangnya. 

Ikan paus jenis kotekelema, sebutan nelayan Lamalera terhadap ikan paus yang menyusui anaknya, merupakan jenis ikan paling dicari. Itu tak berarti, ikan besar lainnya seperti ikan seguni, pari, lumba-lumba dan ikan hiu tak dicari. Ikan-ikan ukuran kecil yang saban hari ditemui dijual di pasar juga dicari nelayan. 

Pencarian ikan paus, juga tak terbatas pada musim leva yakni musim dimulainya pencarian. Bila, sebelum atau setelah musim leva ditemui ikan paus lewat di perairan Lamalera, tak akan dibiarkannya. Tetapi, situasinya akan lain dibanding pencarian pada musim leva yang direstui adat dan gereja.
Berburu ikan paus, bagi nelayan Lamalera adalah mata pencaharian utama. Sama seperti petani, buruh, guru, pegawai negeri sipil dan swasta, tentara, polisi, pengusaha, dokter, kontraktor atau profesi lainnya. 

Apabila pegawai kerja di kantor. Dokter dan bidan melayani pasien di rumah sakit atau petani berada di sawah dan ladang. Sama halnya nelayan Lamalera memilih laut sebagai "lahan" garapan. Berburu ikan paus juga identik dengan petani memacul di ladang atau petani sawah membajak sawah dan pegawai pemerintahan melayani masyarakat.

Karena itu, mereka terikat dengan tata cara dan tata krama, adat dan kebiasaan. Menjunjung tinggi adat kebiasaan yang diwarisakan leluhur dahulu maupun kepatuhan kepada ajaran agama dan gereja---menghasihi dan mencintai harus jadi landasanya. Pelanggaran adat dan kebiasaan, nyawa akan jadi taruhan.
Tidak terhitung, berapa banyak kecelakaan menimpa nelayan Lamalera ketika melakukan "pencarian hidup" di laut. Diseret ikan paus sampai berpuluh-puluh mil jauh dari kampung halamannya sering dialami. Namun, semangat dan motivasi mereka memburu ikan paus tak akan berhenti.

Peristiwa tanggal 10 Maret 1994 masih segar dalam kenangan nelayan Lamalera. Kisahnya ketika sekitar pukul 11.30 Wita, sekawanan ikan paus lewat di depan perairan Lamalera. Dua peledang (perahu) ditumpangi para nelayan memburunya. Dua ekor paus paus, seekor induk dan seekor anak kena tempuling pada posisi 1,5 mil dari pantai. Sukacita tergurat di raut wajah mereka. Sebuah peledang berhasil menarik pulang sekor anak ikan paus, namun peledang lain harus lawan induk ikan paus yang terus menarik peledang ke tengah laut.
Ditarik ikan paus masuk ke laut lepas bukan hal baru. Sudah sering mereka alami. Sebab, ketika darah ikan keluar makin banyak dari banyaknya luka tikaman di tubuhnya maka tiga sampai empat jam, tenaganya terkuras habis dan ikan mati. Selanjutnya paus "ditonda" ke pantai.

Namun menjelang senja berganti malam, ikan paus belum juga tewas. Bahkan para nelayan semakin jauh diseretnya. Sebanyak 34 nelayan menumpang tiga peledang mengikuti pergerakan ikan paus ini, kalah kuat. Waktu terus berlalu, mereka terus terseret ikan dan dibawah arus ke lautan lepas. Tak tahunya sampai keesokan hari 11 Maret 1994, perjuangan nelayan membawa pulang ikan paus belum juga berhasil. Sampai akhirnya memutuskan ikatan tali peledang dan ikan paus. Ikan di lepas, entah masih hidup atau telah mati. 

Keadaannya semakin menakutkan. Tanggal 12 Maret, peledang Kebako Pukang pecah dihantam arus laut yang kencang. Peledang ini pun dilepas. Hanya dua peledang tersisah, Kelulus dan Kena Pukang diikatkan satu sama lain agar para nelayan tidak tercerai berai di tengah amukan gelombang Laut Sawu. Ternyata, peledang Kelulus juga tak kuat menahan ombak. Lambung perahu ini bocor, kemasukkan air dan kapal dilepas tenggelam.

"Paus induk ini rupanya marah karena anaknya dibunuh. Dia mengamuk dan seret kami semua. Keadaan saat itu mengerikan. Kami diseret dan terombang ambing selama empat hari lima malam di laut. Istri, anak dan keluarga di kampung menunggu cemas. Apakah kami selamat atau mati tenggelam. Kampung ini bagikan mati. Semua orang terdiam dan berkumpul di pinggir laut menunggu kabar," kisah Philipus Beda Kerong (54) didampingi istrinya Ny, Agnes Kewa Oleona (45) di kediamnya Senin malam, 30 April 2007.

Ny. Agnes, kala menunggu di rumah dengan anak sulung mereka berusia tiga tahun tak kuat menahan gejolak batin. Sedih, cemas dan takut melanda hatinya juga dirasakan orang sekampung dan istri-istri yang lain. Semuanya menanti penuh kebingungan kabar suaminya. Apakah selamat atau mati ditelan gelombang lautan. "Waktu itu, anjing saja tidak gonggong.Kampung ini seperti mati. Tak ada bunyi-bunyi, semua diam dengan perasaannya," sambung Ambros Oleona, caretaker Kepala Desa Lamalera A ketika itu.

Hujan dan angin ribut di lautan membuat kondisi tubuh para nelayan kian lemah. Philipus mengakui ia dan beberapa nelayan terserang sakit pilek dan panas, meski tak sampai parah. 

Mengingat lagi persitiwa 14 tahun silam, Philipus menambahkan, kejadian itu memberi makna beratnya perjuangan hidup nelayan Lamalera bertempur dengan maut menghidupi anak dan istri di rumah. Namun, ketika itu tugas itu dilakukan dengan benar dan tidak melanggar etika adat dan gereja, keselamatan selalu berpihak kepada nelayan. 

Setelah empat hari lima malam terombang-ambing di laut lepas, tepat pukul 23.45 Wita, tanggal 15 Maret 1994 datanglah bala bantuan kapal Spice Island. Mereka ditemukan terapung pada posisi 76 mil laut arah barat Pulau Semau dan 45 mil dari daratan Pulau Flores. Kapal ikan dinahkodai, Sebastinus Fernandez asal Larantuka, Flores Timur membawa nelayan Lamalera ke Kupang.

Tiga hari mereka diingapkan di Aula Kanwil Departemen Sosial NTT. Mantan Gubernur NTT, Herman Musakabe, datang menjenguk para nelayan. Apa katanya kepada para nelayan Lamalera? "Kami ditanya apakah kami mau bertobat atau tidak tidak menangkap ikan paus. Kami semua jawab spontan, kami punya mata pencaharian mencari ikan paus," tandas Philipus mengulangi pernyataan mereka saat itu. Musakabe geleng-geleng kepala mendengar pengakuan para nelayan. Mereka akhirnya dipulangkan ke kampung halamannya menggunakan kapal feri KMP Ine Rie turun di Pelabuhan Waibalun, Larantuka.

***
RESIKO berburuh ikan paus bukan hanya sampai sebatas diseret dan terombang-ambing berhari-hari di laut lepas. Puluhan korban nyawa nelayan Lamalera, telah jatuh di lautan. Mereka semua mati ketika mencri ikan, tetapi semangat terus memburu ikan tak pernah pudar.

Sebelum tahun 1917, telah tercatat lima nelayan mati tenggelam, digigit ikan atau dililit tali leo. Sampai kejadian terakhir tanggal, 2 April 1992, sudah tercatat 32 orang nelayan meninggal di laut. Ada yang tenggalem, dililit tali "leo", dipukul ekor ikan paus atau digigit ikan hiu. (baca tabel nelayan Lamalera meninggal)
Nelayan Lamalera atau siapa saja mempercayai bahwa mati dan hidup bisa terjadi di mana saja. Di laut, di udara ataupun di darat, tak ada yang tahu akan nasibnya. Namun bagi orang Lamalera, kecelakaan dan kematian nelayan di laut dipercayai ada hubungannya dengan adat dan tradisi. Kesalahan atau pelanggaran yang diperbuat nelayan terhadap istri, anak, sanak famili dan sukunya, kelak akan dihakimi ikan paus.

Sulit mempercayainya dan tidak rasional. Tapi kenyataannya demikian. Salah memasang pasak peledang, tak tahunya akan diberitahu ikan paus ketika nelayan berhadapan dengan ikan. Dinding peledang rontok dipukul ekor ikan. Itulah pertanda kesalahan pembuatan kapal.

Nelayan Lamalera yang hendak memburu ikan paus adalah orang-orang bebas dari masalah. Yang dituntut kebersihan jiwa dan raga. Apalagi yang bertindak sebagai juru tikam (lamava), hati harus bersih, bebas dari perbuatan dosa. Pengakuan ini berdasarkan pengalaman selama melaut dan kisah nenek moyang dan orangtua dahulu. "Jangan coba-coba bikin salah dengan suku, istri dan anak. Apalagi dengan anak perempuan orang. Nyawa kita jadi taruhan," tandas Philipus. 
Kadangkala hanya diberikan peringatan oleh ikan. Tetapi, sumpah serapah orang yang ada di darat, nelayan di laut bisa jadi tumbal. Karena itu, sebelum melaut yang bersalah dan berselisih berterusterang mengakui perbuatannya. Kalau tak sempat, bisa dengan sesama awak peledang agar rejeki selalu dekat dan dan dijauhkan dari musibah. 

Tentang jatuhnya korban nelayan, Pastor Paroki St. Petrus Paulus Lamalera, Rm. Yakobus Dawan, Pr, mengatakan pekerjaan apapun ada resikonya. Tetapi, bagi nelayan Lamalera, korban yang pernah jatuh di laut merupakan akumulasi dari kesalahan manusia (nelayan) dengan masyarakat (suku), istri, anak dan sanak famili. Meski sering juga karena kelengahan manusia, tetapi kematian dan kecelakaan itu dipercayai akibat pelanggaran atau kelalian terhadap adat dan tradisi.

Suatu hal yang positif, apabila seluruh masyarakat dan nelayan bersekutu dalam suatu suasana persaudaraan, kekeluargaan akan diperoleh hasil melimpah. Tapi jika yang terjadi percecokan di keluarga, suku dan masyarakat, resikonya terhadap tangkapan dan nelayan jadi korban. 

Meskipun korban sering jatuh, namun pencarian ikan paus tak berhenti. Semua itu demi kelangsungan rumah tangga, anak dan istri. Daging, minyak, tulang dan gigi ikan paus ibarat panen yang didapat dari kebun dan ladang. Kaum ibu dan wanita menjualnya ke pasar jadi uang atau menukarkannya dari rumah ke rumah dengan beras, jagung, ubi, pisang milik petani di gunung-gunung. (eugenius moa/bersambung)

Nelayan Lamalera mati di laut
1. Bapak Nara Beto Bataona meninggal dipukul ikan
2. Bapak Yakobus Blida Oleona meninggal dibelit tali saat menikam ikan belelang.
3. Bapak Yohakim Demo Bataona meninggal digigit ikan hiu 
4. Bapak Klara Bataona meninggal dipukul ikan paus
5.Bapak Kelake Lelaona mati lemas saat menyelam ikan
6. Tahun 1917 Bapak Kela Nair tenggelam dan meninggal saat menikam ikan paus.
7. Tahun 1918 Bapak Gete Lelaona meninggal dibeli tali leo saat menafkah di Lewotobi
8. Tahun 1920 Bapak Polo Atawolo meninggal saat menikam ikan pari 
9. Tahun 1925, 10 orang mati ketika Titiheri tenggelam karena sarat muatan ikan belelang hasil tangkapan.
10. Tahun 1930, Bapak Alo Dolu meninggal terserang penyakit gila kambing saat memancing.
11. Bapak Lewolema, meninggal ditindis perahu di atas batu
12. 12 November 1961, Bapak Alo Boli Ebang meninggal digigit ikan hiu.
13. 11 Juni 1962, Bapak Dominikus Daton Keraf meninggal sekembalinya dari menafkah di Lewotobi.
14. 11 Juni 1963, Bapak Bernadus Daton Nudek, meninggal dibelit tali leo.
15. 1 Juli 1965 Bapak Michael Loba Besi mati lemas dibawah perahu yang terbalik saat menikam ikan paus.
16. 9 Agustus 1972, Bapak Linus Ratu Tapoana meninggal dipukul ekor ikan paus.
17. 9 November 1974, Bapak Petrus Sita Ebang meninggal dibelit tali tambat ikan penyu.
18. 3 Juni 1976 Bapak Praso Sulaona tenggelam dan meninggal saat menikam ikan belelang.
19. l 2 September 1978, Bapak Donatus Sinu Lelaona meninggal dalam perjalanan ke Lewotobi
20. 6 Janurai 1979, Bapak Bedi Bediona, ditemukan telah meninggal di dasar laut karena menembak ikan.
21. 2 April 1992, anak Bernadus Daton Nudek meninggal terbunuh di laut.
Sumber: Panitia perayaan misa arwah di Lamalera, Senin (30/4/2007)

Tidak ada komentar: